Paradigma
Organisasi Publik
Diskursus tentang organisasi publik sampai saat ini masih
tetap banyak diperdebatkan oleh para pakar. Banyak dimensi yang menarik untuk
dikaji dari keberadaan organisasi publik, seperti kinerja , kualitas layanan ,
manajemen, intervensi maupun strategi yang telah dilakukan . Organisasi publik menurut Denhart ( 1984; 12) dapat
dikategorikan sebagai organisasi yang :
1. Viewed as a part of the governmental process.
2. Viewed as much the same as privat
organizations.
3. ….is a profesional field ……that
draws on various theoritical perspective to produce practical impact.
Dengan demikian apa yang disebut sebagai organisasi publik
merupakan bagian dari proses pemerintahan, memiliki beberapa kesamaan dengan
organisasi privat, melaksanakan tugasnya dengan profesional. Lebih jauh Easton
(1965 ; 50) mengemukakan “ public organization are said to to affect
the development and implementation of public policy in various ways and
consequently to affect the authoritative allocation of values in society .
dari pendapat ini terlihat bahwa organisasi public diharapkan mampu untuk melancarkan pembangunan dan melaksanakan
kebijakan public dalam berbagai cara serta memiliki kewenangan untuk
mengalokasikan nilai-nilai organisasi publik kepada masyarakat. Nilai-nilai dalam organisasi publik seperti
equity, equality, justice , resposibility, dsb. Dalam melaksanakan nilai-nilai
tersebut kemampuan manajemen yang dilakukan oleh organisasi publik menjadi crusial .
Sebagai salah satu bentuk organisasi publik , yang memiliki
legitimasi untuk melakukan berbagai urusan publik, birokrasi publik dituntut
untuk melakukan manajemen sektor publik dengan baik. Namun hal ini bukan hal
yang mudah. Kritikan yang ditujukan pada manajemen sektor publik yang dilakukan
oleh birokrasi publik, seumur dengan keberadaan birokrasi publik itu
sendiri. Mulai dari keluhan klien atas
rendahnya kualitas layanan, kelambanan prosedur, inefisiensi, gejala red tape,
kegagalan pelaksanaan program, dan sebagainya. Fenomena yang terjadi ini sangat
ironis dengan apa yang seharusnya dilakukan dan dicapai oleh birokrasi publik .
Sementara itu kapasitas yang dimiliki oleh birokrasi publik
dalam melakukan manajemen sektor publik sangat terbatas, mulai dari resources,
tehnologi, struktur maupun budaya . Dipihak lain perubahan lingkungan yang
cepat dan dahsyat (upheaval and turbulent environment), secara langsung dan tidak
langsung akan berpengaruh terhadap eksistensi suatu organisasi (Warsito Utomo
,1998 ) . Dengan demikian sekaligus terjadi pergeseran fundamental dan praktek
manajemen birokrasi publik .
Upheaval and turbulence
environment dewasa ini ditandai oleh pesatnya gerakan pembaharuan
dan perubahan global oleh suatu negara terhadap negara lain . Hal ini disebut
oleh Miftah Thoha ( 1998;1) sebagai perubahan global yang akan menjadi way of life . Birokrasi publik bukannya
suatu bentuk organisasi yang tidak akan terpengaruh oleh sasaran perubahan yang
terjadi dan dari segala intervensi pengaruh. Lebih lanjut dikatakan oleh Miftah
Thoha bahwa saat ini sedang terjadi suatu
revolusi tentang hakekat dari birokrasi atau manajemen yang dipengaruhi
oleh perubahan-perubahan yang cepat dan dahsyat dibidang ekonomi, sosial,
ekonomi dan politik.
Sejalan dengan terjadinya perubahan dalam persaingan global,
maka Alfin Toffler menjabarkan pergerseran dalam paradigma manajemen dari
perilaku yang disebut dengan gelombang kedua (second wave ) ke gelombang ke tiga
(third wave). Pergeseran tersebut diantaranya adalah sbb:
1. Berubahnya
sifat organisasi dari hirarkhi ( hierarchy)
menjadi jaringan (networking).
2. Bergesernya
keluaran (output), yakni lebih
berorientasi pada creation.
3. Peranan
institusi yang sangat dominan dalam menentukan keputusan, kini bergeser
pada
individu ( individual empowerment).
4. Gaya
kerja organisasi yang sangat kaku berubah menjadi lebih fleksibel.
5. kekuatan
organisasi yang sebelumnya diukur dari stabilitas, kini bergeser pada
kemampuan
organisasi untuk mengadaptasi perubahan.
6. Orentasi
self suficiency bergeser menjadi
saling ketergantungan (interdependency).
7. Kemana perusahaan akan diarahkan ditentukan
oleh tujuan yang ingin dicapai, kini
lebih
pada perencanaan strategik, penciptaan visi, misi, dan nilai-nilai.
8. Orientasi
kepemimpinan yang bertumpu pada pandangan dogmatik, bergeser pada
kepemimpinan
yang bervisi.
9. Penekanan
pada kualitas produk organisasi.
10. Orientasi
pekerjaan bergeser dari motivasi ,
kepada orientasi membangun sesuatu
yang baru.
11. Kultur
organisasi bergeser dari upaya menghindari resiko (risk aversive), kepada
keberanian menghadapi resiko.
Seringkali ada organisasi yang tidak sensitif terhadap adanya
perubahan , sehingga tetap terus berpegang pada prinsip-prinsip lama, sebagai
akibatnya besar kemungkinan organisasi tersebut akan mengalami kemunduran atau
terancam eksistensinya. Menurut Martel (1986), seringkali organisasi yang tidak
memperhatikan perubahan berasumsi sebagai berikut:
1. Bila
kondisi organisasi sekarang dalam kondisi maju dan berkembang, maka organisasi
tidak perlu melakukan perubahan apapun.
2. Bahwa
problema saat ini yang dihadapi organisasi dapat diselesaikan dengan
cara/metode peneyelesaian masalah masa lalu.
3. Bahwa
perubahan hanya akan menimbulkan masalah.
Birokrasi publik sebagai suatu sistem yang sedang menghadapi
persaingan global, maka birokrasi diharapkan secara dramatis dan radikal harus
mau melakukan reformasi dengan memperhatikan adanya penghematan struktur biaya,
meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kualitas sumberdaya
aparatur melalui inisiatif reengineering,
downsizing, streamlining, dan rightszing,
sehingga dicapai sistem birokrasi publik yang mampu bersaing.
Beberapa konsep secara general untuk meningkatkan kualitas
layanan publik dari birokrasi yang ideal yang pernah diajukan para teoritisi
seperti birokrasi Weber pada akhir abad 19 . Kemudian muncul New Public
Manajemen dari Ewan Ferlie dkk, dengan model sebagai berikut:
1.
The
Efficiency Drive, model ini menekankan pada nilai- efisiensi sebagai
tujuan utama.
2.
Down
Sizing and Decentralisation , model ini menggeser penekanan nilai efiseiensi
dalam organisasi pada sentuhan inovasi dengan humanisme, manajemen hirarkhis ke
manajemen kontrak , gaya kepemimpinan dilakukan dengan management by influence.
3.
In
Search of Excellence.
Model ini lebih menekankan pada pentingnya kultur organisasi dan perubahan yang
terus menerus sekitar kultur organisasi.
4.
Public
Service Orientation. Model ini mengutamakan kualitas
pelayanan. Pelayanan yang berkualitas diasumsikan hanya dapat dilakukan dengan
mengenali visi dan misi birokrasi. (
Samodra Wibowo & Yuyun Purbokusumo, JKAP, 1998
Konsep yang selanjutnya adalah dari Osborne dan Gaebler yang dikenal dengan Reinventing Government dengan intisari
sebagai berikut:
1.
Pemerintah yang katalik yang lebih
berfungsi sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai pelaksana tunggal.
2.
Pemerintah yang sinergetik yang
mampu melihat kelemahan sendiri dan kebaikan pihak lain dan kemudian
mengupayakan perbaikan yang lebih komprehensif dan produktif.
3.
Pemerintah dari suatu masyarakat
yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat bukan untuk mengatur saja.
4.
Pemerintah yang kompetitif yang mampu meningkatkan
semangat kompetitif dalam pelayanan publik.
5.
Pemerintah yang lebih didorong oleh
misi yang jelas , bukan sekedar birokrasi yang
mendasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
6.
Pemerintah yang berorientasi pada
pengaruh ketimbang mengutamakan kekuasaan saja.
7.
Pemerintah yang mendorong timbulnya
kewirausahaan, ketimbang hanya menekankan rutinitas.
8.
Pemerintah yang mengutamakan adanya
demokrasi dan desentralisasi ketimbang yang menekankan perenan hierarkhi.
9.
Pemerintah yang lebih banyak
menekankan betapa pentingnya adhocracy, yaitu bekerja dalam tim ketimbang kerja
yang menekankan peran sektoral.
10. Pemerintah
yang lebih fleksibel dan mengurangi kekakuan aturan yang mengikat daripada menekankan
hierarkhi mekanistis yang tradisional. (Miftah Thoha, 1995).
Konsep
yang lain adalah Banishing Bureaucracy Osborne dan Plastrik (David Osborne dan
Peter Plastrik , 1997) yaitu bahwa untuk memberikan layanan birokrasi yang
berorientasi pada kualitas harus menerapkan lima strategi untuk mengubah DNA
(sifat dasar secara genetik) dari Pemerintah dikenal dengan The Five C’s:
Changing Government DNA sebagai berikut:
|
The Five C’s
|
|
Lever
|
Strategi
|
Approaches
|
Purpose
|
Core
Strategy
|
Clarity
of Purpose
Clarity
of Role
Clarity
of Direction
|
Incentives
|
Consequences
Strategy
|
Managed
Competition
Enterprise
Management
Performance
Management
|
Accountability
|
Customer
Strategy
|
Customer
Choice
Competitive
Choice
CustomerQuality
Assurance
|
Power
|
Control
Strategy
|
Organizational
Empowerment
Employee
Empowerment
Community
Empowerment
|
Culture
|
Culture
Strategy
|
Breaking
Habits
Touching
Hearts
Winning
Minds
|